Gudang Informasi

Tanggung Jawab Seorang Pemimpin

Tanggung Jawab Seorang Pemimpin
Tanggung Jawab Seorang Pemimpin
Tanggung Jawab Seorang Pemimpin
Oleh : Dr. KH. Zakky Mubarak, MA

Artinya : Diberitakan dari Abdullah bin Umar, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda, “Kamu semua yaitu pemelihara (pemimpin) dan bertanggung jawab kepada pemeliharaannya. Seorang imam yaitu pemelihara, ia bertanggung jawab kepada pemeliharaannya. Seorang suami yaitu pemelihara keluarganya, ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang istri yaitu pemelihara di dalam rumah suaminya, ia bertanggung jawab kepada pemeliharaannya. Seorang pembantu yaitu pemelihara harta majikannya, ia bertanggung jawab kepada pemeliharaannya.” Perawi berkata, “Aku menyangka bahwa Rasulullah sungguh bersabda, “Seorang lelaki (anak) yaitu pemelihara harta ayahnya, ia bertanggung jawab kepada pemeliharaannya. Kamu semua yaitu pemelihara dan bertanggung jawab kepada pemeliharaannya.” (HR. Mutafaq’alaih, al-Bukhari: 844 dan Muslim: 3408)

1. Definisi Pemimpin
Pemimpin atau pemelihara yang dalam hadis di atas disebut dengan kata “ra’in” yaitu pemelihara yang selalu berusaha untuk membuat kemaslahatan bagi setiap anggota yang berada dalam pemeliharaannya. Ia yaitu orang yang diberikan kepercayaan untuk mengurus dan memelihara segala sesuatu yang menjadi beban atau kiprah yang harus dilaksanakannya (ra’iyyah).

Dari definisi di atas, tidak ada seorang pun yang tidak menjadi ra’in (pemimpin), meskipun ranah ra’iyyah yang diembannya berbeda-beda. Masing-masing dari mereka mempunyai tanggung jawab untuk berbuat baik dan membuat kemaslahatan bagi semua yang berada di bawah pemeliharaannya. Kepala negara bertanggung jawab kepada rakyatnya, kepala sekolah bertanggung jawab kepada staff guru dan murid-muridnya, kepala keluarga bertanggung jawab kepada istri dan anak-anaknya, dan lain sebagainya. Bahkan seorang anak, tukang, pedagang, petani, atau pelayan sekalipun, mereka bertanggung jawab kepada wilayah pemeliharaannya (ra’iyyah). Apabila seorang ra’in tersebut sanggup mengemban dan menjalankan fungsinya untuk menjaga dan memelihara ra’iyyahnya, maka ia benar-benar telah menjalankan amanat Allah sebagai khalifah di muka bumi ini. Kata ra’iyyah (yang dipimpin) kemudian diambil menjadi kosa-kata dalam Bahasa Indonesia dengan arti rakyat. Maka tersebutlah ada pemimpin (ra’in) dan ada rakyat (ra’iyyah).

2. Tugas Seorang Pemimpin
Seorang pemimpin, baik sebagai kepala negara, raja, gubernur, walikota, bupati, camat, kepala desa, maupun yang lainnya, didaulat penuh oleh rakyat untuk mengemban amanah sebaik-baiknya. Oleh lantaran itu, seorang pemimpin harus senantiasa menegakkan supremasi aturan dengan adil dan bijaksana, memperlihatkan hak-hak rakyat, menjamin kemerdekaan berpendapat, berserikat, menjalankan ibadah berdasarkan keyakinan mereka masing-masing. Mereka juga harus mendukung setiap langkah yang konkret untuk membangun bangsa yang beradab, adil, dan sejahtera.

Selain itu, ia juga harus memperhatikan tuntutan nurani rakyat, menjaga keamanan dan kenyamanan mereka dari segala gangguan dan ancaman, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar wilayah kekuasaannya. Dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya, ia harus mempertanggung-jawabkan semuanya itu di hadapan Allah s.w.t.. Demikian beratnya kiprah seorang pemimpin, Umar bin Abdul Aziz, salah seorang Khalifah Dinasta Umayah yanga cendekia dan bijaksana, saat didaulat sebagai Khalifah, kalimat yang pertama kali ia katakan yaitu “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”, kalimat istirja’ yang diucapkan saat mendapatkan suatu musibah. Bagi dirinya, jabatan pemimpin (khalifah) bukan suatu anugerah yang harus dibanggakan, melainkan amanah rakyat yang harus ia tunaikan dengan jujur, adil, dan bijaksana. Tepat sekali apa yang dikatakan spesialis politik nasional, Andi Mallarangeng, “The state that never sleep” (negara yang tak pernah tidur) untuk kinerja pemerintah yang tak mengenal lelah bekerja keras demi merealisasikan kemaslahatan umat, mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, aman, dan sejahtera.

3. Pemimpin yang Dzalim
Kesan pemimpin yaitu sosok yang kharismatik bagi rakyatnya, ditangannyalah, segala kebijakan menyangkut nasib rakyat ditentukan. Pemimpin yang adil tentu akan membawa rakyatnya kepada kesejahteraan. Sedangkan pemimpin yang dzalim (otoriter) akan membawa mereka kepada kesengsaraan yang berkepanjangan. Banyak negara yang sejahtera lantaran dipimpin oleh presiden yang adil, tetapi kemudian runtuh dan sengsara lantaran dilimpahkan kepada generasi penerusnya yang dzalim. Oleh lantaran itu, tepat sekali apa yang dicantumkan dalam sebuah kaidah fiqh: “Kebijakan seorang imam harus berdasarkan pada kemaslahatan masyarakatnya.” Dengan demikian, barometer kebijakan seorang pemimpin, bukanlah nafsu kekuasaan yang bersifat politis, melainkan amanat rakyat yang diembankan kepadanya. Apabila seorang pemimpin tidak memperhatikan nasib rakyatnya, bahkan ia menzalimi mereka dengan melaksanakan tindakan-tindakan yang merugikan kepentingan bersama, maka ia termasuk pemimpin yang tidak jujur.

Ketidakjujuran seorang pemimpin terlihat dari perilakunya yang lalai dalam menunaikan hak-hak rakyatnya. Ia sering memanipulasi kepentingan mereka demi kepentingannya pribadi. Bahkan ia tak segan memeras keringat rakyat dan memakan harta milik mereka dalam bentuk korupsi dan kongkalikong serta penyalahgunaan kekuasaan. Pemimpin ibarat ini akan menanggung dosa umat dan bangsa secara keseluruhan. Di dunia, ia akan dijerat oleh aturan negara atas tindakannya yang berbuat aniaya semasa berkuasa. Dan di alam abadi nanti, ia akan menerima siksa yang menyakitkan. Dalam hal ini, Sahabat Ma’qil bin Yasar al-Muzanni menjelang wafatnya memberikan sebuah hadis sebagai berikut:

Artinya : “Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda, “Tidak ada seorang hamba yang diamanatkan oleh Allah untuk mengurusi rakyatnya, kemudian ia meninggal dalam keadaan sedang menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan sorga baginya.” (HR. al-Bukhari: 6618 dan Muslim: 203)

Lebih jauh lagi, seorang pemimpin hendaknya selalu memperlihatkan kemudahan bagi masyarakat yang dipimpinnya, bukan malah mempersulitnya. Oleh lantaran itu, pantas sekali kalau pemimpin yang mempermudah urusan umatnya di dunia, maka Allah akan mempermudah urusannya nanti di akhirat. Tetapi, kalau ia mempersulit atau menunda-nunda amanah yang diembannya, sehingga mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat yang berkepanjangan, maka Allah s.w.t. akan mempersulit kebutuhannya nanti di akhirat. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis:

Artinya : Diberitakan dari Aisyah ra, Rasulullah s.a.w. bersabda, “Ya Allah, siapa yang sedikit saja menguasai urusan umatku, kemudian ia mempersulit mereka, maka sulitkanlah ia. Dan siapa yang sedikit saja mengurusi umatku, kemudian ia menyayangi mereka, maka kasihanilah ia.” (HR. Muslim: 3407)

Hadis ini ditegaskan juga oleh sebuah riwayat dari Abu Maryam al-Azdiy, Rasulullah s.a.w. bersabda:

Artinya : “Siapa yang telah dikuasakan oleh Allah untuk memegang sebuah urusan kaum muslimin, kemudian ia menghalangi kepentingan dan kebutuhan mereka, maka Allah akan menghalangi kepentingan dan kebutuhannya..” (HR. Abu Dawud: 2559)
Abu Awwanah dalam Shahih-nya menegaskan bahwa pemimpin demikian itu akan memperoleh bahlatullah, yakni laknat Allah (Fatchurrahman:1966:132).

4. Kewajiban Terhadap Keluarga
Seorang suami sebagai kepala rumah tangga yaitu pemimpin bagi keluarganya. Ia diberikan amanah untuk menjaga dan memelihara orang-orang yang berada dalam pengawasannya. Ia wajib mendidik, mengajar, dan mengarahkan istri, anak-anak, hatta pelayannya sekalipun, untuk menjadi insan yang berpendidikan dan berakhlak mulia. Jika ia tidak bisa menanganinya sendiri, maka agama memperbolehkannya untuk mencari orang yang berkompeten untuk kepentingan itu. Oleh lantaran itu, sudah menjadi kewajiban suami, memperlihatkan nafkah kepada sanak keluarganya, mendidiknya, dan mengarahkannya kepada jalan yang baik biar senantiasa melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.....” (QS. al-Tahrim, 66:6)

Seorang suami akan dimintai pertanggungjawabannya nanti di alam abadi kelak. Sebagai kepala keluarga, ia akan ditanya, apakah istrinya telah diperlakukan dengan baik, diberikan hak-haknya dengan sempurna, dan apakah ia tidak menyeleweng saat istrinya sedang tidak ada. Begitu pula wacana anak-anaknya, ia akan ditanya wacana pendidikan agama mereka, dan bagaimana ia membelanjakan harta untuk anak selama masih dalam pengawasannya. Dengan demikian, tidak ada celah bagi seorang suami untuk berbuat dzalim terhadap sanak keluarganya, lantaran semuanya akan dimintai pertanggung-jawabannya. Kewajiban dalam mengatur keluarga tidak hanya monopoli seorang suami. Seorang istri diberikan kiprah untuk memperlihatkan pendidikan kepada anak-anaknya di rumah. Sebab pepatah Arab mengatakan, “al-Ummu Hiya al-Maddrasat al-Ula” (Ibu yaitu sekolah yang pertama). Di samping itu, ia juga harus bijaksana dalam mengatur rumah tangga, menjaga diam-diam keluarga, dan menjadi mitra hidup yang taat serta insyaf akan kewajibannya. Istri yang ibarat ini yaitu istri yang diridhai oleh Allah s.w.t. Ia akan mencium semerbak aroma sorga di alam abadi kelak.

Sebaliknya, apabila seorang istri banyak menuntut hak kepada suaminya, sementara kewajibannya dilalaikan, maka ia yaitu tipe istri yang dilaknat oleh Allah s.w.t. dan dicampakkan ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Adapun anak yang menjadi buah hati mereka berdua, ia bertanggung jawab untuk menjaga harta kedua orang tuanya dengan baik dan efesien. Ia tidak menghambur-hamburkannya untuk kegiatan-kegiatan yang tidak mempunyai kegunaan dan foya-foya. Harta yang diamanahkan orang bau tanah kepadanya harus dimanfaatkan untuk hal-hal yang baik, tidak diselewengkan, digelapkan, atau dirusakkan. Seorang anak yang baik yaitu anak yang berbakti dan berbuat baik kepada orang tuanya, bersikap jujur dan tidak ada dusta dalam perilakunya. Ia menjaga harta orang tuanya ibarat hartanya sendiri yang harus dipelihara dengan sebaik-baiknya.

5. Kewajiban Buruh Terhadap Harta Majikannya
Buruh, pekerja, pembantu, atau pelayan yang bekerja di rumah atau di kantor majikannya, bertanggung jawab untuk memelihara harta benda dan segala inventaris milik majikannya. Ia hendaknya menyebarkan harta inventaris itu sesuai dengan kemampuannya, tanpa merusak atau menghilangkannya.

Seorang buruh diberi upah oleh majikannya untuk bekerja keras merawat, menjaga, dan memelihara rumah atau kantor dan segala isinya. Tugas ini merupakan amanah yang harus ia tunaikan. Berbagai akomodasi dan inventaris milik majikannya tidak dipakai untuk keperluan yang tidak ada sangkut pautnya dengan urusan kantor.

Jika demikian, masing-masing dari kita diperintahkan untuk mempertanggung jawabkan semua yang diamanahkan kepada kita, berupa harta benda, keluarga, kesehatan, dan jabatan. Dalam konteks ini, apa pun yang kita miliki dan bahkan diri kita yaitu amanah kehidupan dari Allah. kita harus menjaga dan menjalankan amanah tersebut sesuai dengan apa yang perintahkan Allah dan Rasul-Nya, lantaran semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah.

Karenanya, janganlah kita terlena dengan segala apa yang kita miliki, terutama jabatan (kedudukan) dan kekayaan. Sebab semuanya itu yaitu cobaan dan amanat yang harus dipergunakan dengan baik dan benar. Allah s.w.t. berfirman,

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan janganlah kau mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kau mengetahui.” (QS. al-Anfal, 8:27).

6. Kesimpulan
Seluruh insan menjadi pemimpin sekaligus menjadi pemelihara dan pengurus terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya.
Pemimpin atau pengurus harus berbuat baik kepada apa yang dipimpinnya atau diurusinya, lantaran semuanya itu akan diminta pertanggungjawabnya di hadapan Allah. 


Pemimpin atau penguasa yaitu pemelihara umat yang harus dengan jujur melaksanakan amanah dan tuntutan rakyatnya untuk membuat kesejahteraan di segala bidang. Ia akan mempertanggungjawabkan semua kebijakan yang ditempuhnya sewaktu di dunia menyangkut problem umat. Apabila adil, jujur, dan benar, maka Allah merahmatinya, tetapi bila dzalim dan menyelewengkan kekuasaannya, maka Allah akan melaknatnya.
Advertisement